Rabu, 20 Mei 2015

Sego Pecel Gambrengan Purwodadi




Sego Pecel Gambrengan atau disingkat SPG merupakan makanan khas dari daerah Gambrengan (Purwodadi). Kuliner ini banyak dijajakan di Stasiun Gambrengan, sehingga dikenal dan terkenal dengan nama Sego Pecel Gambrengan.
Namun, saat ini kuliner ini tidak hanya dijual di Stasiun Gambrengan saja. Di beberapa tempat, ada juga dijumpai penjual nasi pecel Gambrengan ini. Salah satunya adalah di Simpanglima Purwodadi. Tepatnya di pojok Jl. R. Soeprapto atau persisnya di trotoar belakang Masjid Jabalulkhoir, Anda akan menjumpai warung tenda yang menjual Sego Pecel Gambrengan.
Menurut Nyoto, pemilik warung SPG Simpanglima, warungnya mulai beroperasi setahun yang lalu. Istrinya yang asli Gambrengan-lah yang berinisiatif untuk membuka usaha kuliner ini. Resep semuanya mengadopsi Sego Pecel Gambrengan, termasuk ubo rampe pelengkap seperti rempeyek dan telur asin, didatangkan dari Gambrengan. Sehingga sensasi rasa kenikmatannya dijamin sama dengansego pecel yang dijual di Stasiun Gambrengan.
Warung SPG milik Nyoto ini buka mulai jam 5 sore sampai jam 1 malam. Bahkan, di bulan Ramadhan ini, warungnya buka sampai waktu sahur tiba. Menurut Nyoto, justru pada malam harilah warungnya ramai pembeli. Semakin malam malah semakin banyak yang makan di sini Pak, tutur lelaki kelahiran 1981 ini.
Soal harga dijamin pro rakyat alias murah meriah. Sepincuk sego pecel dihargai Rp 2000 ribu. Itu memang belum lauknya. Namun, dijamin harga lainnya pun tergolong harga pro rakyat.

Selasa, 19 Mei 2015

Nasi Jagung Bothok Yuyu Purwodadi



Kuliner khas Purwodadi ini memang tidak banyak diketahui oleh orang dari luar kabupten Grobogan. Tetapi di kawasan sendiri, kuiner ini menjadi kegemaran masyarakat sekitar dari kecil sampai tua. Kuliner ini dibuat dari hasil pertanian berupa jagung dan salah satu hewan sejenis kepiting yang hidup di air tawar atau yang dinamakan oleh masyarakat sekitar sebagai “YUYU”.
Yuyu dan jagung menjadi bahan utama dalam membuat kuliner khas ini. Beberapa warung makan yang ada di Purwodadi menyediakan jenis kuliner ini dengan harga ayng sangat terjangkau bagi semua kalangan masyarakat. Rasa yang disuguhkan dari kuliner ini memang khas dan menggoyang lidah penikmatnya.
Cara pengolahan dari kedua bahan baku tersebut tergolong rumit dan memakan sedikit waktu yang agak lama. Tahap pertama, jagung putih yang telah disiapkan harus direndam air terlebih dahulu selama 4 hari dengan penggantian air setiap harinya, supaya tidak berbau danterasa asam. Setelah empat hari, jagung ditiriskan dan dikeringkan, kemudian digiling atau dijadikan bubuk. Setelah ditumbuk menjadi bubuk jagung yang lumayan halus, bubuk jagung siap untuk di masak dengan cara dikukus (di-Dhang) dalam bahasa masyarakat Purwodadi.Waktu memasaknya kurang lebih 3 jam dengan proses dan alat memasak yang tradisional. Setelah matang baru siap untuk disajikan.

Untuk proses pengolahan Yuyu menjadi Botok Yuyu juga tergolong rumit. Pertama, Yuyu harus dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel di badannya. Setelah bersih, Yuyu digiling sampai halus dan berair. Kemudian salah satu olahan dari Yuyu yang sudah ditumbuk ini adalah Botok Yuyu setelah dicampur dengan kelapa yang tingkat kemudaannya tertentu yang diparut dan dicampur dengan rempah-rempah khusus sebagai bumbunya. Hasil penghalusan dari Yuyu tersebut juga dapat dipakai untuk membuat menu masakan khas lain yang tidak kalah enaknya.

Sayur Becek khas Purwodadi



Becek, nama kuliner yang cukup unik. Jika dilihat namanya, kuliner yang satu ini memang kurang meyakinkan kata becek aja kalau di artikan kedalam bahasa indonesia artinya tidak terlalu sedap, namun jika anda sudah merasakannya pasti akan ketagihan. Dulunya, sayur khas Grobogan ini hanya bisa didapati di daerah pelosok yang kebetulan sedang mengadakan kenduri. Namun kini sayur yang didominasi tulang iga sapi tersebut sudah menjadi konsumsi masyarakat luas dan disediakan di sejumlah warung di Kota Purwodadi.

Sayur ini disajikan bersama sepiring nasi, kering tempe dan kacang tolo sebagai lalapan. Memang, masakan ini hanya didominasi tulang iga yang hanya terbalut sedikit daging. Namun, racikan bumbunya membuat lidah para penikmat sayur becek tidak ingin berhenti untuk menggigit tulang demi tulang yang tersaji di dalam semangkuk kuah, itulah pesona sayur becek.
Proses pembuatan sayur becek ini sangat mudah, bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar dan cabe ditumbuk menjadi satu kemudian tumbukan tersebut dimasukkan dalam rebusan tulang iga. Untuk menyempurnakan aroma, rebusan tulang dan bumbu tersebut dicampur dengan daun kedondong dan daun dayakan. Cukup merogoh kocek Rp 15.000 untuk mendapatkan semangkuk sayur ini.

Ki Jaka Tarub

Kurang lebih pada tahun 1300 M, Syeh Jumadil Kubro, seorang mubaleg dari Arab datang ke tanah Jawa. Beliau mempunyai putri bernama Ny. Thobiroh dan seorang cucu bernama Syeh Maulana.
Sesudah dewasa, Syeh Maulana mendapat perintah mengembangkan syariat Islam di pulau Jawa. Hal ini tidaklah mudah, sebab orang-orang Jawa di kala itu masih banyak yang memeluk agama Hindu Budha dan ahli bertapa. Orang Jawa banyak yang memiliki ilmu tenaga dalam. Maka dari itu Syeh Maulana mulai
memasukkan syariat Islam dengan cara bertapa ke atas pohon giyanti yang sangat besar.

Bertepatan itu di Surabaya terdapat Kerajaan Temas, rajanya bernama Singawarman dan mempunyai putri yang bernama Nona Telangkas. Dikala itu Nona Telangkas sudah dewasa, namun belum ada remaja yang berani meminangnya. Menyikapi hal itu, ayahnya memerintahkan agar Nona Telangkas menjalankan tapa ngidang dengan cara masuk hutan selama tujuh tahun, tidak boleh pulang atau mendekat pada manusia dan tidak boleh makan kecuali daun yang ada di dalam hutan. Pada saat akan selesai bertapa, di tengah hutan, Nona Telangkas melihat ada Telaga yang sangat jernih airnya. Kemudian melepas semua pakaian dan tak sengaja melihat bayangan pria di dalam air yang sangat tampan. Karena telah terlanjur melepaskan semua pakaiannya, dengan terpaksa Nona Telangkas menjeburkan diri ke dalam telaga, sambil mengucapkan “mboh gus wong bagus “. Setelah selesai mandi, Nona Telangkas kembali pulang ke Kerajaan untuk menghadap orang tuanya. Namun disaat itu ternyata dirinya sudah dalam keadaan hamil. Setelah menghadap, ayahnya bertanya “Siapakah suamimu, sehingga engkau pulang dalam keadaan hamil?” Ditanya ayahnya berulang-ulang, dia tidak bisa menjawab.

Untuk menutupi malu, Nona Telangkas memutuskan kembali masuk ke hutan untuk mencari lelali yang pernah ditemuinya di telaga. Sesampai di tengah hutan Nona Telangkas melahirkan bayi, sekarang tempat tersebut bernama desa Mbubar .

Setelah jabang bayi lahir, pencarian diteruskan. Setiba di telaga, jabang bayi diletakkan ditepi telaga dan ditinggal pulang ke kerajaan Temas.

Di kemudian hari, diketahui bahwa orang yang bayangannya terlihat didalam sendang telaga adalah Kanjeng Syeh Maulana Maghribi yang sedang bertapa diatas pohon Giyanti.

Dikala si jabang bayi Nona Telangkas diletakkan dipinggir sendang telaga, Syeh Maulana berkata “Nona Telangkas keparingan amanateng Allah kang bakal njunjung drajatmu kok ora kerso”. Sepulang Nona Telangkas, Syeh Maulana turun dari pertapanya dan menimang jabang bayi, kemudian dibuatkan tempat yang sangat indah yang disebut bokor kencono.

Dikala itu Dewi Kasian yang belum memiliki putra ditinggal wafat suaminya yang bernama Aryo Penanggungan. Karena sayangnya Dewi Kasian terhadap suaminya, setiap saat dia selalu menengok makam suaminya. Suatu hari, diam-diam Syeh Maulana Maghribi membawa putranya yang telah dimasukkan bokor kencono dan diletakkan disamping makam Aryo Penanggungan. Pada malam harinya Dewi Kasian menengok ke makam suaminya, terlihat sinar yang menjurat ke atas dari bokor kencono. Di dalamnya terlihat jabang bayi yang sangat mungil dan lucu. Dewi Kasian sangat senang hatinya melihat si jabang bayi, spontan bokor berisi jabang bayi itu dibawa pulang dengan mengucapkan “Kangmas Penanggungan wis sedo, kok kerso maringi momongan marang aku.”

Kabar mengenai orang yang telah meninggal tetapi bisa memberikan kepada istri jandanya, telah tersiar sampai ke pelosok negeri. Masyarakat berbondong - bondong ingin menyaksikan kebenaran berita tersebut. Dewi Kasian yang awalnya tidak punya harta benda menjadi janda yang kaya raya. Harta yang dia dapat berasal dari uluran orang-orang yang datang kepadanya.

Jabang bayi yang ditemukan Dewi Kasian diberi nama Jaka tarub karena dikala masih bayi diambil dari atas makam Aryo Penanggungan yang makamnya dibuat makam Taruban.
Pada usia kanak-kanak Jaka tarub atau Sunan Tarub mempunyai kesenangan atau hobi menangkap kupu-kupu sampai ke dalam hutan. Suatu hari, setelah masuk di tengah hutan dia bertemu orang tua dan diberi aji-aji tulup Tunjung Lanang.
Dengan bertambahnya usia, Jaka tarub tak lagi menangkap kupu-kupu, dia lebih memilih berburu burung. Suatu hari sesampai diatas gunung, Jaka tarub mendengar suara burung perkutut yang sangat indah bunyinya. Setelah jaraknya cukup dekat, Jaka tarub melepaskan anak tulupnya, namun gagal. Burung itu terbang dan menghilang sebelum terdengar lagi dari arah selatan, anak tulup Jaka tarub gagal lagi mengenai burung yang sedang diburunya, anak tulup itu hanya mengenai dahan jati, tempat itu sekarang dinamai Dukuh Karang Getas.

Jaka tarub duduk merenung lama, dia tertunduk sedih, tempat itu sekarang dinamai Dukuh Sedah. Saat hampir putus asa, terdengar lagi suara burung dari arah selatan. Nyaris kali ini burung itu hampir terkena anak tulup, namun gagal lagi, tempat itu sekarang menjadi Dukuh Pojok.
Burung terbang lagi ke selatan dan hinggap diatas pohon asam, tempat itu sekaramg menjadi Dukuh Karangasem. Diwaktu mengejar ke keselatan Jaka tarub merenung lagi, tempat merenung Jaka tarub itu sekarang dinamai Desa Godan. Jaka tarub mengejar terus burung kearah selatan, yang sekarang bernama Dukuh Jentir. Jaka tarub terus melacak burung yang merubah arahnya ke arah tenggara dan hinggap di sebuah pohon tetapi burung tersebut tidak bersuara.

Setelah burung itu terbang lagi ke selatan lagi, tempat itu sekarang bernama Dukuh Pangkringan. Jaka tarub terus melacak kearah selatan, setelah sampai ditempat yang sangat rindang disitulah burung terbunyi lagi. Dan di situ pulalah Jaka tarub mendengar suara wanita yang baru berlumban (mandi) di dalam sendang. Jaka tarub sudah lupa bahawa dia sedang memburu burung. Sekarang dia beralih mengintip wanita yang mandi di dalam sendang Tak disangka tenyata para bidadari yang dilihatnya. Jaka tarub langsung mengambil salah satu pakaian bidadari, kemudian dibawa pulang dan disimpan dibawah tumpukan padi (lumbung) ketan hitam.
Jaka tarub kembali lagi ke Sendang dengan membawa pakaian ibunya. Setelah sampai di dekat sendang, para bidadari sudah terbang kembali ke nirwana. Tinggal satu yang masih mendekam ditepi sendang dengan lirih berkata : “sopo yo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung sanggup dadi bojoku”. Disaat itu Jaka tarub mendekati sambil menyodorkan pakaian ibunya.

Setelah bidadari berpakaian diajak pulang kerumah ibunya dan disampaikan kepada ibunya bahwa putri ini adalah putri dari sendang yang terlantar. Tak lama kemudian Jaka tarub menikah dengan bidadari tersebut yang bernama Nawang Wulan. Adapun sendang yang dibuat lomban para bidadari, sekarang dinamakan sendang Coyo. Kemudian Jaka tarub dan Nawang Wulan mempunyai tiga putri yaitu Nawang Sasi, Nawang Arum, dan Nawang Sih.

Pada waktu bayi, dikala Nawang Sih masih di ayunan, ibunya mau mencuci pakaian di sungai dan berpesan pada Jaka tarub agar mengayun putrinya dan jangan membuka kekep (penutup masakan). Namun setelah Nawang Wulan pergi ke sungai, Jaka tarub penasaran akan pesan istrinya, maka dibukalah kekep tersebut. Setelah melihat didalam kukusan, ternyata yang dimasak istrinya hanya satu untai padi. Jaka tarub mengucapkan “Istriku yen masak pari sak uli ngeneki tho, lha iyo parine ora kalong – kalong”.
Tak lama kemudian istrinya datang lalu membuka masakannya, ternyata masih utuh berupa padi untaian. Nawang Wulan mengetahui kalau suaminya tak menuruti pesannya, sehingga terjadi pertengkaran. Akhirnya Nawang Wulan meminta dibuatkan peralatan dapur (lesung, alu, tampah). Setelah kejadian itu, kalau hendak masak, dia harus menumbuk padi dulu, sehingga lambat laun padi yang ada di lumbung makin habis. Setelah sampai padi yang bawah, yang ada ditempat penyimpanan adalah padi ketan hitam. Dari situ, Nawang Wulan mengetahui kalau pakaiannya disimpan disitu. Terjadi pertengkaran lagi antara dirinya dan Jaka tarub. Nawang Wulan merasa ditipu dan akan pulang kembali ke nirwana. Tetapi setelah Nawang Wulan sampai di nirwana dia ditolak oleh keluarganya karena sudah berbau manusia. Kemudian Nawang Wulan turun lagi ke bumi namun tidak mau kembali kerumah suaminya. Dia ingin bunuh diri, naik di gunung Merbabu meloncat ke laut selatan.

Setelah sampai di laut selatan Nawang Wulan tidak mati, justru dirinya berperang melawan Nyi Roro Kidul, yang akhirnya dimenangi Nawang Wulan, sehingga laut selatan dikuasai oleh Nyi Nawang Wulan. Sejak saat itu, pengusa yang ada dilaut selatan ada tiga putri, Nyi Nawang Wulan, Nyi Roro Kidul, dan Nyi Blorong.
Setelah Jaka tarub ditinggal Nawang Wulan dia hidup dengan putrinya Nawang Sih. Disaat itu di Kerajaan Majapahit yang diperintah Prabu Brawijaya kelima ditinggal wafat istrinya, sehingga Prabu Brawijaya sakit dan tidak mau tinggal di kerajaan. Setiap malam sang raja tidur menyepi ditepi Kerajaan. Suatu malam dia bermimpi bila ingin sakitnya segera sembuh maka dirinya harus mengawini putri Wiring Kuning. Keesokan harinya, para patih diperintah untuk mengumpulkan semua perempuan yang ada di Keraton. Setelah disesuaikan dengan mimpinya, sang raja menjumpai putri Wiring Kuning yang ternyata adalah pembantunya sendiri. Dikawinilah putri tersebut dan dilarang untuk keluar dari taman kaputren karena malu jika ketahuan orang banyak kalau raja mengawini pembantunya sendiri.

Setelah jabang bayi lahir, raja Brawijaya memanggil saudaranya (Juru Mertani) supaya memelihara dan mengasuh bayi tersebut. Bayi itu diberi nama Bondan Kejawan (Lembu Peteng). Suatu hari, Juru Mertani akan membayar pajak ke kerajaan, Bondan Kejawan ingin ikut tetapi tidak diperbolehkan. Karena tidak diperbolehkan dia nekat pergi sendiri. Sampai di Kerajaan, Bondan langsung masuk dan naik ke atas singgasana raja dan membunyikan Bende Kerajaan. Sang raja mendengar bunyi bende menjadi marah. Bondan ditangkap dan dimasukkan kedalam sel kerajaan. Tidak lama kemudian datanglah Juru Mertani. Selesai membayar pajak dia menghadap sang raja dan memberitahukan bahwa anak kecil itu adalah putra sang raja sendiri. Raja Brawijaya memanggil anak kecil itu dan membawa kaca untuk melihat wajahnya sendiri dengan wajah anak tersebut. Akhirnya Beliau yakin dan percaya bahwa anak tersebut adalah putranya. Kemudian Juru Mertani diperintah sang raja untuk mengantarkan putranya pada Ki Ageng Tarub, agar diasuh.

Ki Ageng Tarub menerima dan mengasuh dua anak sekaligus, Bondan Kejawan dan anaknya sendiri. Setelah masuk remaja Bondan Kejawan diperintah ayah asuhnya agar bertapa ngumboro dengan cara hidup di tengah ladang selama tujuh tahun dan tidak boleh pulang kalau belum waktunya. Setelah sampai waktunya Nawang Sih diperintah ayahnya supaya memasak yang enak, setelah memasak Nawang Sih menjemput saudaranya Bondan Kejawan yang berada ditengah ladang. Setelah sampai dekat gubug yang ditempati Bondan Kejawan, saat itu Bondan sedang istirahat. Nawang Sih memanggil Bondan Kejawan dari bawah gubug. Bondan Kejawan terkejut dan jatuh dari atas gubug dan secara tak sengaja memegang bahu Nawang Sih. Sampai dirumah Nawang Sih memberitahu ayahnya bahwa tadi bahunya dipegang oleh Bondan. Tetapi sang ayah malah menjodohkan Nawang Sih dengan Bondan Kejawan, nantinya mereka memiliki anak yang diberi nama Ki Ageng Getas Pandowo (Ki Abdullah). Bondan Kejawan meneruskan Bopo Morosepuh dan diberi nama Ki Ageng Tarub II, sedang Ki Ageng Getas Pandowo diberi nama Ki Ageng Tarub III. Tempat pertapaan Bondan Kejawan (Lembu Peteng) sekarang terdapat disebelah tenggara makam Ki Ageng Tarub I, dukuhan sebelahnya dinamakan Desa Barahan.

Ki Ageng Tarub III (Getas Pandowo) mempunyai anak banyak, yang terkenal adalah Ki Ageng Abdurrahman Susila (Ki Ageng Selo). Bagi warga, Ki Ageng Tarub mendapatkan suatu karomah dari Allah yang diberikan kepada Syeh Maulana Maghribi dengan Dewi Telangkas (Nona Telangkas). Adapun karomah yang diberikan Allah kepada Ki Ageng Tarub I dapat kawin dengan bidadari, Nawang Wulan. Adapun cucu Ki Ageng Tarub I adalah Ki Ageng Selo yang mendapat karomah dari Allah dapat menangkap petir. Dari Beliaulah terlahir raja-raja ditanah jawa.
Makam Ki Ageng Tarub terletak di desa Tarub Kecamatan Tawangharjo ± 10 km dari Kabupaten Grobogan.

*Di olah dari berbagai sumber

Ki Ageng Selo

Ki Ageng Selo Menurunkan
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo.
Lantas, bagaimana juntrungan-nya Ki Ageng Selo bisa disebut penurun raja-raja Mataram? Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati inilah diturunkan para raja Mataram sampai sekarang.
Namun, perkembangan ini hendaknya tidak melenakan, bahwa di sisi lain ada hal urgen yang mutlak diperhatikan. Yaitu, keabadian sejarah dan konsistensi mengamalkan Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Untuk yang pertama (mengabadikan sejarah) meniscayakan adanya kodifikasi sejarah Ki Ageng Selo dalam satu buku khusus, sebagaimana Wali Songo dan para wali lain bahkan para kiai mutakhir juga diabadikan ketokohan, jasa-jasa, dan keteladanannya dalam catatan sejarah yang utuh dan tuntas. Dari pengamatan penulis, buku-buku sejarah yang ada saat ini hanya menuturkan sekelumit saja tentang keberadaan Ki Ageng Selo sebagai penurun para raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta), serta kedigdayaannya menangkap petir (bledeg).
Minimnya perhatian ahli sejarah dan langkanya buku sejarah yang mengupas tuntas sejarah waliyullah sang penangkap petir, memunculkan kekhawatiran akan keasingan generasi mendatang dari sosok mulia kakek moyang raja-raja Mataram. Tidak mustahil, anak cucu kita (termasuk warga Surakarta dan Yogyakarta) akan asing dengan siapa dan apa jasa Ki Ageng Selo serta keteladanan-keteladanannya. Barangkali tidak banyak yang tahu bahwa Surakarta dan Yogyakarta memiliki ikatan sejarah dan emosional yang erat dengan Selo. Mungkin hanya warga di lingkungan Keraton yang mengetahui itu. Padahal ikatan itu kian kukuh dengan diabadikannya api bledeg di tiga kota tersebut. Bahkan pada tahun-tahun tertentu (Tahun Dal), untuk keperluan Gerebeg dan sebagainya, Keraton Surakarta mengambil api dari Selo.
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu :

1. Ki Ageng Sela,
2. Nyai Ageng Pakis,
3. Nyai Ageng Purna,
4. Nyai Ageng Kare,
5. Nyai Ageng Wanglu,
6. Nyai Ageng Bokong,
7. Nyai Ageng Adibaya .

Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 - 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja - raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu :

1. Nyai Ageng Lurung Tengah,
2. Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ),
3. Nyai Ageng Basri,
4. Nyai Ageng Jati,
5. Nyai Ageng Patanen,
6. Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama
7. Kyai Ageng Enis.

Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .


Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja - raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum GREBEG Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja - raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak - arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing - masing. Menurut Shrieke api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data - data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja - raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa - sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber - sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam - makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam - makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata - rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.

Menelusuri Jejak sang Penangkap petir
Ini adalah salah satu legenda Tanah Jawa, sesosok figur ulama di daerah Selo, Grobogan, Jawa Tengah yang bernama Ki Ageng Selo...

Silsilah

Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta) maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).
Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng Tarub. Ia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan dinasti Demak.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.

Sang Penangkap Petir

Kisah ini terjadi pada jaman ketika Sultan Demak Trenggana masih hidup. Syahdan pada suatu sore sekitar waktu ashar, Ki Ageng Sela sedang mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Petir datang menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng Selo. Gelegar..... petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun, ia tetap berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar genggaman tangan orang dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng Sunan di Kerajaan Istana Demak.
Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah-- makin kagum terhadap kesaktian Ki Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo tidak boleh diberi air.



Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang --perpangkat besar dan orang kecil-- datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah intruder (penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang ingin melihat petirnya Ki Ageng.


Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung kelapa) lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar... gedung istana tempat menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan petir. Kanjeng Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok tersebut adalah “petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang berhasil ditangkap Ki Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali menyatu, lalu hilang lenyap.

Versi lainnya
Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo berwujud seorang kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.


Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo, apalagi di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. "Dengan menyebut nama Ki Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar," kata Sarwono kepada Gatra.


Soal petir yang tidak pernah ada di Desa Selo diakui oleh Sakhsun, 54 tahun. Selama 22 tahun ia menjadi muazin Masjid Ki Ageng Selo, dan baru pada akhir November 2004 dilaporkan ada petir yang menyambar kubah masjid Ki Ageng Selo. Lelaki berambut putih itu pun terkena dampaknya. Petir itu menyambar sewaktu ia memegang mikrofon hendak mengumadangkan azan asar.


Sakhsun pun tersengat. Bibirnya bengkak. "Saya tidak tahu itu isyarat apa. Segala kejadian kan bisa dijadikan sebagai peringatan bagi kita untuk lebih beriman," katanya. Dia sedang menebak-nebak apa yang bakal terjadi di desa itu. Menurut kepercayaan setempat, kubah masjid adalah simbol pemimpin. Apakah artinya ada pemimpin setempat yang akan tumbang?


Larangan Menjual Nasi
Suatu hari ada dua orang pemuda yang bertamu ke rumah Ki Ageng Selo, Mereka bermaksud hendak belajar ilmu agama pada KI Ageng Selo. Sebagai tuan rumah yang baik, KI Ageng selo menghidangkan nasi pada mereka, namun mereka menolakya dengan alasan masih kenyang. Setelah merasa sudah cukup ( belajar ilmu agama ), kedua pemuda itu pun memohon untuk pamit pulang. Sepulang dari rumah Ki Ageng, kedua pemuda itu tidak langsung pulang, melainkan mampir ke warung nasi dulu untuk makan. KI Ageng Selo melihat hal itu. Beliau merasa sakit hati dan setelah itu beliau berkata “ Orang-orang di desa selo tidak boleh menjual nasi, kalau ada yang melanggarnya maka bledheg akan menyambar-nyambar di langit desa Selo “. Hingga saat ini penduduk yang tinggal di sekitar Komplek Makam KI Ageng Selo tidak ada yang menjual nasi.

Napak Tilas KI Ageng Selo
Terletak di dusun Krajan, RT II RW 02, Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Tempat ini juga merupakan salah satu tempat wisata di Kabupaten Grobogan karena mengandung nilai-nilai sejarah yang luar biasa.

Tempat-tempat penting yang masih berkaitan dengan KI Ageng Selo
1. Makam KI Ageng Tarub
Terletak di desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan sekitar 4 Km dari Makam KI Ageng Selo. Beliau adalah Buyut dari KI Ageng Selo. Di komplek Makam ada gentong yang airnya berasal dari sendang bidadari.

2. Makam Bondan Kejawan / Lembu Peteng ( Kakek KI Ageng Selo )
Terletak di dusun Mbarahan Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Sekitar 3 Km dari Makam KI Ageng Selo. Di area komplek makam banyak di bangun patung dan stupa. Kini kondisinya semakin tidak terawat. Banyak patung yang mulai rusak. Namun masih banyak orang yang datang untuk berziarah

3. KI Ageng Getas Pendowo
Beliau adalah Bapak dari KI Ageng Selo. Makamnya terletak di Kuripan Purwodadi sekitar 15 Km dari Makam KI Ageng Selo. SELO

Legenda Telaga Ngebel Ponorogo




Dahulu kala waktu Ki Ageng Mangir merantau ke Jawa Timur sampai di Daerah Kabupaten Ngrowo yang akhirnya menjadi Tulungagung sedang Istrinya bernama Roro Kijang yang ikut serta merantau, pada hari waktu Roro Kijang hendak makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang namun tak dapat menemukan, akhirnya minta pisau kepada Suaminya oleh Suaminya diberi Pisau Pusaka, Seking dengan berpesan kepada Istrinya :
– Agar lekas dikembalikan
– Jangan sekali pisau itu ditaruh dipangkuannya.
Pisau Pusaka Seking diterima dan terus dipergunakan untuk membelah pinang, sambil makan sirih ia duduk – duduk, dengan enak ia menikrnati rasa daun sirih dan Pinangnya.
Kemudian lupa pesan Suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh diatas pangkuannya, tetapi apa yang teijadi ia amat terkejut dan heran karena pisau diatas pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.
Dengan ratap dan tangis iamenceritakan apa yang terjadi dan yang telah dialami kepada Ki Ageng Mangir. Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan untuk menebus kesalahannya ini Roro Kijang harus bertapa di tengah – tengah Rawa.
Roro Kijang menerima segala kesalahan yang dilimpahkan kepadanya dan dengan rasa sedih hati ia melaksanakan perintah Suaminya bertapa di tengah Rawa sedang Ki Ageng Mangir lalu kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah barat.
Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar seperti orang bunting, tepatnya waktu itu ia melahirkan tetapi apa yang teijadi, ia tidak melahirkan seorang anak manusia melainkan seekor
Jlar sekalipun ular tetapi tidak sembarang ular ia ular yang Ajalb kulitnya jercahaya berkilauan seperti emas kepalanya seperti Mahkota.
Roro Kijang terkejut dan sangat takut serta merasa malu untung tak ada rang mengetahuinya. Roro Kijang lalu mengambil sebuah Kelemting yang libawanya lalu dipasang pada leher si Ular kemudian di tutup dengan empayan setelah itu Roro Kijang pindah bertapa dilain tempat.
Bayi Ular semakin lama semain besar sehingga tempayan tempat ia erkurung makin lama makin sesak lama kelamaan tempayannya pecah dan alar dapat keluar.
Diluar ular makin lama bertambah semakin besar dan kuat kulitnya kena sinar Matahari semakin terang dan bercahaya gemerlapan.
Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak – gerakan kepalanya sehingga kelenting dilehemya berbunyi : kelinting – kelinting, karena ia nerasa hidup sendirian maka timbulah pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang melahirkan mereka / dirinya dan siapakah kedua Orang tuanya. Akhirnta timbulah niat untuk mencari kedua Orang tuanya dan dilihatnya iari jauh ada seorang sedang bertapa. Yang akhimya orang pertapa tadi idalah ibunya yaitu Roro Kijang, yang selanjutnya memberi nama kepada maknya dengan nama Baru Klinting.
Atas pesan dan saran Ibunya yaitu Roro Kijang. Baru Klinting disuruh nenyusul / mencari orang tuanya yang sedang bertapa digunung Wilis, Baru klinting lalu beijalan menuju ke gunung Wilis karena yang dituju jauh dan »udah payah lalu berhenti. Bekas tempat istirahat akhimya menjadi desa fang bemama Desa Baru Klinting masuk Kabupaten Tulungagung. Ki Ageng Vlangir setelah bertapa di Gunung Wilis ia berubah nama menjadi Ajar aolokantoro, ketika ia sedang bertapa datanglah Baru Klinting dihadapan- lya.
sebagai seorang pertapa yang telah tinggi Ilmunya, ia telah dapat mengetahui ipa yang telah terjadi, terutama rente tan dengan peristiwa hilangnya pisau 3usaka Seking dahulu.
Sedatangan Baru Klinting mengutarakan maksudnya sesuai petunjuk bunya Roro Kijang bahwa yang pertapa di sini adalah Ayahnya dan Ajar
Solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut perintahnya dahulu yaitu : Lingkarilah Gunung Wilis ini kalau dari ujungekor sampai kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini rnaka akan diterima sebagai anaknya.
Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari kaki Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal sepanjang jari saja. Untuk mencapai Ekomya maka dengan seijinnya Baru Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-pan- jangnya sampai ke Ujung ekor, setelah lidah Baru Klinting dijulurkan sampai ke ekor maka pertapa lalu mencabut pisau, lidah Baru Klinting lalu di potong seketika itu juga putuslah lidah Baru Klinting yang sebelah dan lidah yang sebelah masih menyambung ekor sedang baru kliting sendiri kesakitan. Dengan menahan sakit maka marahlah Baru Klinting ditariknya ekor dan mengagah mulutnya akan menelan sang Ayah, tetapi setelah diberi penger- tian bahwa apabila ingin menjadi manusia agar jangan mempunyai lidah bercabang duajadi harus dip’otong yang satunya, atas saran sang Ayah maka ditelanlah potongan lidah yang satu tetapi harus dikeluarkan lagi dan jangan dikeluarkan melalui mulut.
Lidah dikeluarkan melalui telinga tetapi keluarlah sebuah pusaka yang disebut Tobak Baru Klinting yang kelak sangat bermanfaat untuk Baru Klinting.
Atas petunjuk Sang Ayah maka Baru Klinting meneruskan bertapa sampai berpuluh tahun didalam hutan. Lama-kelamaan badannya tertim- bun oleh daun daun dan tanah sehingga sebagian badan yang tidak terpen- dam kelihatan seperti batang kayu, bagian kepala saja yang dapat kelihatan terang muncul disuatu desa yang dinamakan desa “Sirah Naga” termasuk Kecamatan Millir Kabupaten Madiun.
Pada suatu hari didesa Ngebel dilereng Gunung Wilis akan mengadakan Bersih desa pelaksanaannya dipusatkan dirumah Kepala Desa segala biaya dipikul oleh Rakyat dalam desa untuk menghemat biaya semua warga desa laki-laki supaya masuk hutan mencari binatang buruan baik Kijang, Rusa ataupun yang lainnya untuk lauk pauk dalam pesta Rakyat nanti.
Pada pagi harinya orang desa yang laki-laki berduyun-duyun masuk n mereka membawa parang, kapak sabit dan, keranjang dan tali, mya nasib sedang sial padanya hampir seharian tak seekorpun dapat 1 buruannya, semua lelah dan payah, oleh Pimpinannya diperintahkan lk berhenti di tempat masing-masing sambil menunggu kalau ada tang yang terlihat diantara sekian banyak ada seorang yang sambil uk mengayunkan kapaknya ke batang kayu, anehnya kayu itu men- arkan darah, ia amat terkejut sambil berteriak. Karena batang kayu itu geluarkan darah maka yang lainpun mencoba mengiris batang kayu tapi . keluar darahnya.
Semua riang gembira barang yang disangka kayu itu dipotong-potong mjangbadannya. Merekaberamai-ramai membawa pulanghasilburuan- dan dimasak bersama-sama dirumah Kepala Desa. Sehari semalam di dopo Kepala Desa diadakan keramaian, semua Rakyat didesa laki-laki :mpuan, tua muda datang melihatnya Orang tua didalam Rum ah dan k-anak di halaman rumah. Sewaktu anak-anak sedang bermain di luar irnan rumah, datanglah seorang anak compang-camping Pakaiannya dan yak luka di badannya, dimana anak itu datang mendekati anak-anak a itu datang menjauh.
eka merasa muak melihat anak itu datang merasa dihina oleh kawan- rannya, maka ia lalu pergi ke Dapur minta nasi, semua orang benci ihatnya dan tak ada seorangpun mau memberi nasi. Kemudian datang rang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan pindang ing sate nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis. Perutnya yang dan badannya menjadi kuat, aneh bin Ajaib semua luka-luka di lannya hilang sama sekali dan bentuk badannya menjadi baik seperti Lk-anak di desa itu.
Ia mendekati nenek tua itu yang telah memberi nasi tadi dan berpcsan iada nenek tadi apabila ada apa-apa agar nenek tadi membawa entong idok nasi) dan lekas saja naik lesung, anak itu lalu meninggalkan nenek i dan berkumpul dengan anak-anak desa itu.
Dengan membawa sebuah lidi sapu ia masuk kelingkaran tempat anak- ik bermain seraya menantang kepada anak-anak desa itu, bahwa siapa yang bisa mencabut lidi yang baru ditancapkan ditanah akan diberi hadiah sebungkus nasi penuh dengan daging. Semua anak datang mencobanya tetapi tak berhasil malahan orang tuapun datang ingin mencobanya men­cabut lidi tetapi juga tidak adayang berhasil. Dengan berpesan kepada orang desa itu bahwa orang kikir itu tidak baik dan tidak mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan jangan berlagak sombong dan suka menghina orang lain. Akhirnya anak kecil itu dengan perlahan-lahan mencabut lidi sapu yang tertancap di tadi dengan mudahnya seolah-olah timbul sebuah mata air yang besar dan menggenangi halaman dan pekarangan kepala desa.
Oleh karena derasnya air maka anak-anak dan Orang tua jatuh tenggelam semua orang mati dan segala Bangunan roboh terapung- apung sebentar saja desa itu tenggelam dan menjadi Danau yang selanjutnya dinamakan ” danau Ngebel “.
Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan Entong sebagai alat pendayung. Nenek tua bersama anak kecil tadi menjalankan perahunya ketepi danau lalu mendarat. Tempat mendarat ini ditepi pasar Ngebel nenek tua tadi tinggal dan menetap disitu sampai ajalnya dan dimakamkan ditengah-tengah Pasar Ngebel. Akhirnya nenek tua itu disebut “Nyai Latung” dan telaga tadi disebut dengan sebutan ” Telaga Ngebel
Diceritakan bahwa Baru Minting yang sedang berta pa dalam hutan karena perbuatan penduduk Ngebel maka badannya telah hancur tinggal bagian Kepalanya saja. Kepalanya menjadi batu terletak di Desa sebelah Barat dari Desa Ngebel. Tempat kepala ini akhirnya dinamakan Desa “Sirah Naga”. Dengan takdir Illahi Baru Klinting setelah hancur badannya menjelma menjadi seorang anak kecil dan disebut anak bajang dan si Bajang inilah yang membuat permainan lidi sapu tadi. Setelah si Bajang berpisah dengan nenek tua lalu ia mencari Orang tuanya ditinggalkannya Danau Ngebel, lalu pergi ke Gunung-gunung mencari tempat Orang tuanya bertapa. Setelah bertemu lalu menghadap Orang tuanya (Ayahnya) sambil menyampaikan bahwa perintah Ayahnya telah dilaksanakan dengan baik.
Sang Ayah akhimya mengakui bahwa ia anaknya dan diberi nama “Joko Baru” dan diberinya sebuah Pusaka Tombak bemama “Tombak Baru Kuping” Joko Bam dengan rasa ham bersujud dan menerima sebuah pusaka dari Ayahnya. Setelah menerima Pusaka Joko Baru diberi nasehat- nasehat dan disuruh pergi ke arah timur Gunung Wilis dan jangan berhenti kalau belum sampai ke sebuah Rawayang luas dan Ayahnya berpesan bahwa disitulah tempat Tumpah darah Joko Baru. Setelah sampai ditempat itu agar nanti Joko Baru membangun tanah kelahirannya, sebab dengan pusaka ini nanti Joko Bam akan menjadi Orang Besar dan setelah itu dicarilah Ibunya dan dipeliharalah bersamamu dengan baik.
Setelah cukup pesan Ayahnya Joko Bam bersujud dan mohon diri untuk melaksanakan perintah Ayahnya. Joko Bam tems pergi kearah timur Gunung Wilis setelah berjalan berhari-hari sampailah di tanah Ngrowo dan bertemu dengan ibunya serta diterima dengan senang hati.
Akhirnya pusaka Bam Kuping menjadi Pusaka Wasiat Kabupaten Bonorowo yang ahimya pindah ke utara menjadi Kabupaten Tulungagung.

Senin, 18 Mei 2015

Bukit Mayong Sooko Ponorogo

Bukit Mayong. Mungkin nama itu masih sekali ini terdengar di telinga anda. Dilihat dari namanya “bukit’’, sudah bisa ditebak jika itu adalah sebuah tempat yang lebih tinggi daripada tempat lainnya. Ya, memang benar, Bukit Mayong adalah nama salah satu bukit yang berada di Kecamatan Sooko, tepatnya berada di Desa Bedoho. Bukit ini menjulang tinggi di antara tempat – tempat lain yang berada di Kecamatan Sooko. Dari puncak bukit ini kita bisa menikmati indahnya alam Sooko dari ketinggian. Dari bukit ini kita bisa menikmati sunrise yang muncul dari balik pegunungan di Kabupaten Trenggalek (karena letak Bukit Mayong berada di perbatasan Ponorogo dan Trenggalek) dan bisa menikmati sunset yang tenggelam dari balik kokohnya dinding-dinding batu Gunung Bayangkaki. Di Bukit Mayong ini terdapat tebing-tebing yang sangat menantang untuk ditaklukkan oleh pemanjat tebing. Di bukit ini sering digunakan untuk camping oleh anggota pramuka yang berada di daerah Sooko dan sekitarnya.
Tidak salah kiranya jika anda suka berpetualang dan suka menikmati keindahan alam untuk datang ke Bukit Mayong. Akses untuk menuju ke bukit ini sangat mudah, dari kecamatan bisa langsung menuju melalui Desa Bedoho.