Jumat, 15 Mei 2015

Asal Nama Ponorogo



Pada suatu hari, yang kebetulan pada saat malam jumat bulan purnama, Raden Katong, Seloaji, Kyai Ageng Mirah dan Jayadipo duduk bersama di oro-oro (tanah gersang dan luas) untuk mengadakan musyawarah. Kemudian Raden Katong memulai pembicaraan, “Bapa Mirah, saya minta Bapa memikirkan pusat kota yang akan kita bangun ini, dimana dan bagaimanakah sebaiknya sebaiknya tempat untuk pendirian pusat kota itu diletakkan?” (Purwowijoyo,1985:39-40).
Kemudian Kyai Mirah menjawab, “Begini Raden, kalau untuk pusat kota sebaiknya kita pilih yang berbentuk Bathok Mengkureb (tempurung tengkurap). Itulah tanah dan tempat yang sebaik-baiknya untuk dihuni” (Purwowijoyo,1985:40).
Kemudian Jayadipo yang lebih mengenal daerah itu menyambung, “Raden, kalau berkenan dan sudi mendengar pendapat saya, untuk pusat kota Raden saya silahkan memilih ditengah-tengah tanah yang luas itu. Marilah sekarang saja kita semua kesana! Saya persilahkan Raden dan semua untuk melihat! (Purwowijoyo,1985:40).
Empat orang tersebut terheran-heran, semua melihat dengan sungguh-sungguh arah yang ditunjuk Jayadipo. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah tidak melihat sesuatu apapun yang ada disana, akan tetapi Raden Katong melihat ada sesuatu di tengah-tengah padang rumput yang luas. Raden Katong melihat benda berbeda berjumlah tiga buah. Raden Katong bertanya kepada Jayadipo, “Kakang Jayadipo, saya melihat ada tombak, payung yang sedang terbuka dan satunya lagi saya kurang begitu jelas. Benda apakah itu kakang? Apakah maksud kakang menunjukkan benda ini kepada kami?” (Purwowijoyo,1985:40).
Raden diminta untuk menyembah tiga kali. Setelah menyembah tiga kali barulah Seloaji dan Kyai Ageng Mirah dapat menyaksikan keberadaan tiga benda tersebut. jayadipo mengatakan bahwa dia dan kakaknya bernama Jayadrono adalah abdi ari ayahanda yaitu Prabu Brawijaya V. Adapun pusaka itu ada disini karena kamilah yang membawanya. Dahulu ayahanda bersabda, jika kelak ada orang yang dapat melihat pusaka ini, itulah tanda kesetiaan Sang Prabu kepada orang itu maka berikanlah pusaka itu, selain itu Sang Prabu juga bersabda bahwa dahulu Katong memang diharapkan untuk menjadi raja menggantikan Sang Prabu. Itulah titah dari Ayahanda dan sekarang radenlah yang mewarisinya. Payung ini bernama Payung Tunggul Wulung, adapun tombak ini bernama Tombak Tunggul Naga dan satunya berupa sabuk yang bernama Sabuk Cinde Puspito.
Raden Katong menyembah tiga kali lalu mengambil payung Tunggu Wulung, Seloaji mengambil tombak Tunggul Naga, sedangkan Kyai Ageng Mirah mengambil sabuk (ikat pinggang) Cinde Puspita. Setelah ketiga barang itu diambil, terdengar suara gemuruh tiga kali. Bersamaan dengan itu, tanah berhamburan ke atas dan jatuh ke kanan kiri. Tanah yang berjatuhan tadi akhirnya menjadi gundukan tanah sebanyak lima puluh buah. Adapun tempat suara gemuruh terjadi, muncullah gua dengan lobang menganga. Kelak setelah empat puluh hari gua tersebut tertutup kembali seperti semula. Oleh Jayadipo gua tadi diberi nama Gua Sigala-gala. Adapun gundukan tanah tadi diberi nama Gunung Lima dan Gunung Sepikul dari situlah asal muasal Ponorogo (Purwowijoyo,1985:41).
Tiga orang disertai empat puluh santri yang sudah bisa membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Diperintah babat di hutan Wengker membangun desa sampai menjadi kota. Semua kebutuhan dicukupi, berupa alat pembabat hutan, peralatan pertanian dan perkakas rumah tangga. Hanya waktu itu keluarga, anak dan istri tidak boleh ikut.
Sampai di sebelah barat Gunung Wilis, sebelah timur Gunung Lawu disana mereka istirahat. Ketepatan ditempat yang banyak glagahnya dan tanahnya berbau wangi, disitulah mulai dibabat. Babatan baru itu tadi dinamakan “Glagahwangi”. Orang yang berjumlah 40 dibagi menjadi empat kelompok yaitu utara 10, timur 10, selatan 10 dan barat 10 orang kemudian Raden Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah ditengah sebagai pengawas dan komando (Purwowijoyo, 1990: 23).
Musyawarah berlanjut untuk memberikan nama kota yang akan didirikan tersebut. setelah mufakat dan kemauan terikat mereka memutuskan kota bernama Pramanaraga. Pramana artinya perana yaitu menyatunya sumber cahaya dari matahri, bulan dan bumi yang berpengaruh menyinari kehidupan manusia yang digelar di alam raya. Ketiga unsur tersebut dinamakan Trimurti, bertempat dan menyatu dengan badan manusia menjadi mani. Mani laki-laki yang bercampur perempuan mendapat sabda dari kehendak Yang Maha Kuasa menjelma menjadi manusia. Jadi Pramana dan raga diumpamakan seperti madu dan manisnya, atau bunga dan sarinya, umpama api dan nyalanya. Sedangkan pana berarti mengerti akan segala situasi, mengerti dengan pemahaman yang sesungguhnya.

Setelah dapat tertata, lalu membuat kota dan berdasar putusan musyawarah nama Kadipaten Barunya PONOROGO. Dari kata Sankrit (sansekerta) Pramana Raga, disingkat menjadi Ponorogo. Pono artinya sudah mengerti semuanya, lahir dan batin sedangkan Rogo itu badan maknanya sudah mengerti pada raganya, bisa menempatkan diri artinya tepo seliro(Purwowijoyo,1990:23). Jadi Ponorogo berarti manusia yang telah mengetahui, mengerti kepada dirinya sendiri yaitu manusia yang sudah mengetahui unggah-ungguh (sopan santun) atau manusia yang sudah mengerti tentang tata krama (Purwowijoyo,1985:41).

Kemudian esok harinya, sewaktu fajar menyingsing, terdengar suara riuh rendah bunyi-bunyian, kentongan, bende, lesung, dan alat bunyi yang lain dipukul bersamaan sebagai pertanda lahirnya kota baru Pramanaraga. Pada hari Minggu Pon, bulan Besar tahun 1486 M diresmikan sebagai berdirinya kota Ponorogo, menjadi daerah Kabupaten. Adipatinya disebut Kanjeng Panembahan Batara Katong, Patihnya Seloaji, dan Penghulu agamanya Kyai Ageng Mirah. Kemudian berkeliling kota hingga pelosok desa. Disetiap tempat dipasang pengumuman tentang pendirian kota baru itu. Mulailah Pramanaraga dikenal masyarakat sebagai kota kadipaten yang baru. Sekarang kota Pramanraga terkenal dengan sebutan Ponorogo.
Berdirinya kota ini diperingati atau ditulis pada batu menggunakan Candra Sengkolo Memet. Candra Sengkolo Memet itu berupa gambar atau bangunan berupa gambar 4 jumlahnya, yaitu urut dari arah ke kanan, 1. Gambar orang semedi (bertapa), 2. Gambar pohon beringin, 3. Gambar garuda terbang, 4. Gambar Gajah. Pencipta memberi arti orang 1, beringin (kayu) 4, burung terbang 0, gajah 8 jadi dapat dibaca 1408 dalam hitungan Saka (Purwowijoyo,1990:24).
Kemudian jangka sepuluh tahun, membuat prasasti lagi di batu. Tertulis aksara Jawa, angka aksara Jawa 1418 tahun Saka atau 1496 M itu merupakan peringatan mulai patihnya Demang Suryongalam. Ponorogo sudah tidak ada keributan lagi. Para Warokan dan Warok yang semula suka mengganggu kepada para santri sudah tidak mengganggu lagi. Para pemimpin desa, tetua para warok bersama-sama pergi ke Kadipaten untuk menyerahkan diri dan minta tuntunan hidup bermasyarakat.
Para pamong praja, mulai demang, palang mantri, para bupati, prajurit dipenuhi. Pejabat lainnya dicukupi lebih-lebih permasalahan pertanian. Raden Katong sendiri selalu memberi contoh, mempunyai kebun merica di desa Mrican dan desa Sahang Ngebel (sahang=merica). Juga beternak hewan seperti sapi, kerbau dan kuda. Selama 10 tahun kota Ponorogo menjadi aman tentram, tidak ada curi-mencuri, perampokan atau brandal (Purwowijoyo,1990:24).
Sebelum itu situasi kota tidak aman tenteram, lebih-lebih usaha perkembangannya agama Islam selalu mendapat rintangan. Nama santri itu dimana saja terlihat berbeda, sebab busananya serba putih, sarung putih, baju takwa model cina juga putih. Padahal pakaian penduduk aslinya serba hitam. Jadi kelihatan mencolok bedanya. Jika ada santri lewat jalan melewati rumah penduduk asli, untung-untungnya hanya dijuluki, ujarnya : Santri Buki (santri Busuk”. Celakanya lagi kadang-kadang diejek agar marah. Jika marah lalu diajak gulat, bila sial ada juga yang meludahi (Purwowijoyo, 1990:24).
Berdasar kenyataan seperti itu Raden Katong dan Kyai Mirah lalu mengatur atau menyiasati santri, bila keluar dari rumah akan mengajar mengaji, tidak boleh sendirian, harus ada temannya paling tidak 3 – 5 orang (Purwowijoyo,1990:24).

sumber:
PurwP    Purwowijoyo. 1985. Babad Ponorogo Jilid I. Ponorogo : Depdikbud Kantor Kabupaten Ponorogo.
Purwo   Purwowijoyo. 1990. Babad Ponorogo Jilid VII : Ponorogo Zaman Belanda. Ponorogo : Depdikbud  Kantor Kabupaten Ponorogo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar