Jumat, 15 Mei 2015

Sejarah Napak Tilas Ponorogo

Zaman Hindu Kerajaan Wengker
Sebelumnya dengan runtuhnya kerajaan Medang di Jawa Tengah banyak rakyantnya yang pindah ke Jawa Timur. Pada tahun 1928 Empu Sendhok yang merupakan patih dari kerajaan Medhang dia beserta keluarganya pindah ke Jawa Timur. Tidak sedikit rakyat yang mengikuti jejak Empu Sendhok untuk pindah ke Jawa Timur.
Di Jawa Timur kemudian mendirikan sebuah kerajaan, kerajaan itu diberi nama keraajaan Watonmas. Kerajaan Watonmas itu berada disekitar sungai Brantas antara Malang dan Surabaya. Kemudian Empu Sendhok itu dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Isana Wikrama Darrmotungga Dewa, yang mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut sampai dengan tiga keturunan. Akan tetapi kerajaan Watonmas itu tidak bertahan lama karena diserang oleh musuh sehingga kerajaan Watonmas itu runtuh. Kemudian muncul suatu kerajaan baru yaitu kerajaan Kahuripan. Kerajaan Kahuripan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Airlangga. Masa pemerintahan Raja Erlangga antara tahun 1000-1042. Setelah Empu Sendhok, ternyata juga ada rombongan lain dari Jawa Tengah yang pindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan putra Raja Medhang yang bernama Kettu Wijaya.

Kemudiaan Kettu Wijaya beserta rombongannya berjalan melewati jalur sebelah selatan hingga di sebelah timur Gunung Lawu kemudian mereka beristirahat dan menetap disana. Dengan kejadian  itu mereka mendirikan sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Wengker. Berdirinya kerajaan Wengker itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti yang ditemukan di Sendang Kanal Madiun. Didalam prasasti tertulis berdirinya kerajaan Wengker pada tahun 986 – 1037 M dengan rajanya yang bergelar Kettu Wijaya.
Nama Wengker merupakan akronim dari “Wewengkon angker” atau tempat yang angker. Wilayah kerajaan Wengker meliputi sebelah Utara yaitu Gunung Kendeng sampai Gunung Pandan. Kemudian sebelah timur merupakan Gunung Wilis ke selatan sampai ke laut selatan. Kemudian sebelah selatan merupakan wilayah laut selatan dan sebelah barat dari pegunungan mulai laut kidul ke utara samapai ke Gunung Lawu.
Kemudian didalam buku Hindhu Yavansche Tiyt halaman 134 yang di tulis oleh Proffesor Doktor N.J. Krom menjelaskan bahwa kerajaan Wengker terletak di desa Setono Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo (Purwowijoyo, 1990: 13).  Kemudian didalam buku Sejarah Indonesia yang ditulis oleh Dra. Setyawati Sulaiman juga menjelaskan bahwa kerajaan Wengker itu terletak di dekat desa Setono (Purwowijoyo, 1990:13).
Kemudian berdasar penelitian menyebutkan bahwa kerajaan Wengker itu, kerajaannya terletak di desa Kadipaten perbatasan berbatasan dengan desa Setono. Kerajaan Wengker dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Wijaya atau Kettu Wijaya. Kerajaan Wengker itu kerajaan yang kuat, amat sentosa, rajanya sakti mandraguna dan rakyatnya banyak yang berilmu tinggi dan senang dalam melakukan dalam tapa brata.  
Kerajaan Wengker dikelilingi oleh sungai yang menjadi batas kota dan sebagai benteng pertahanan. Selain itu juga terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. Pada tahun 947 M, Empu Sendhok digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuyhawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang kekuasaan di Medhang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medhang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medhang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan.
Pada tahun 1016, kerajaan Medhang diserang Sriwijaya bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar kerajaan tewas. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Pralaya”atau kehancuran. Selain itu beserta sekutunya ingin menghancurkan Medhang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medhang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan dalam bidang ekonomi.
Satu-satunya yang berhasil lolos dari serangan tersebut adalah Airlangga yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada wakti itu usia airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia bersembunyi di hutan sekitar daerah Wonogiri. Pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan kerajaan Medhang. Saat itu bekas kerajaan Medhang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena setelah terjadinya Pralaya, wilayah Medhang menjadi terpecah-pecah. Airlangga merupakan raja yang tersohor dan berpengaruh besar.
Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah Medhang termasuk terhadap kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar. Pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa Topo kemudian pindah ke Kapang diikuti bebrapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga lari ke Sarosa. Disinlah akhirnya Kettu Wijaya dapat dikalahkan dan ia dibunh oleh prajuritnya sendiri. Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (muksa). Dengan semikian berakhir riwayat kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Berselang sekitar 200 tahun muncul kerajaan baru yaitu kerajaan Bantarangin. Terletak di desa Sumoroto kurang lebih 12km arah barat kota Ponorogo yang masih bagian wilayah kerajaan Wengker.
Pada tahun 1078 kerajaan Wengker dipimpin oleh Kelono Sewandono. Rajanya yang bernama Kelono Sewandono dan patihnya bernama Kelono Wijaya yang masih saudara kandung. Raja Kelono Sewandono kakaknya memiliki paras yang tampan sampai dijuluki Tubagus Kelono Sewandono. Sedangkan adiknya berwajah jelek, keningnya nong nong, mata pendul, bermulut lebar, gigi besar-besar, pundak benjol dan rambunta gimbal. Meskipun berwajah jelek namun Kelono Sewandono memiliki kesaktian yang luar, ahli bertapa dan kaya akan mantra-mantra (Purwowijoyo,1990:14).
Pada suatu malam Kelono Sewandono bermimpi bertemu dengan putri Kediri yang bernama Dewi Songgolangit. Keesokan harinya beliau mengutus adiknya yaitu Kelono Wijaya untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri. Sang Prabu Kertojoyo raja Kediri mengetahui jika putrinya ketakutan melihat tamunya yang baru datang, namun akan menolak takut karena raja Bantarangin itu orangnya sakti mandraguna. Kemudian dia minta persyaratan untuk proses pernikahan nanti yaitu (Purwowijoyo,1990:15) :
1.      Minta seperangkat gamelan (gong) yang belum ada di bumi ini dan digunakan untuk mengiringi jalannya temanten dari Wengker sampai Kediri.
2.      Minta berbagai mcam hewan isi hutan yang dihalau ke Kediri untuk mengisi kebun binatang
3.      Minta manusia berkepala harimau.
Sesampainya di Bantarangin segera menyatakan apa saja yang menjadi permintaan Putri Kediri. Kelono Sewandono murka mendengar apa yang dikatakan adiknya. Permintaan itu tidak wajar, tidak akan terlaksana, maka kerajaan kediri akan diserang dengan peperangan. Dengan kesaktian ilmunya seluruh hewan hutan dapat dikumpulkan di alun-alun lalu merakit alat musik model baru yang terbuat dari bambu dan kayu seperti seruling (terompet), angklung, ketipung dan gendang. Ketuk, kenong dan kempul juga dari bambu. Seperangkat alat musik (gamelan) yang terbuat dari bambu semuanya sudah disiapkan termasuk penabuhnya (pemainnya). Tinggal manusia berkepala harimau (macan) yang akan diketemukan nanti.
Sesudah semua persyaratan selesai calon temanten laki-laki yaitu Raja Bantarangin diiring menuju kerajaan Kediri. Gamelan (musik) dipukul dengan sorak sorai, gembira, gemuruh laksana batu bata runtuh. Waktu itu Kelono Wijaya tidak boleh ikut karena nanti akan menakuti Putri Kediri dan dikatakan kakaknya bila ikut memalukan karena jelek rupanya. Akhirnya mengalah dan menerima untuk menjaga kerajaan.
Ternyata Patih Kediri yang bernama Singolodro yang juga disebut Barongseta juga menghendaki ingin menyunting Dewi Songgolangit. Patih Singolodro itu juga sakti mandraguna, dan kondang dapat berubah menjadi harimau putih karena itu disebut Barongseto. Mendengar ramai-ramai gemuruh sorak-sorai masuk kota secepat kilat dengan penuh keberanian menerjang barisan pengiring pengantin. Para pengiring temanten bubar lari kesana kemari. Hewan yang digiringpun lari tak karuan hanya tinggal Barongseta berhadapan dengan Kelono Sewandono.
Keduanya lalu perang tanding Kelono Sewandono naik kuda sambil membawa tombak Singolodro membawa tameng dengan sebilah pedang. Singolodro terkena tombak Kelono Sewandono seketika berubah menjadi harimau gembong yang berwarna putih menubrak musuh mengenai leher bagian belakang terlepas dari kudanya. Bergulung-gulung antara harimau dengan manusia. Akhirnya Kelono Sewandono jatuh terbanting dicengkram oleh harimau. Kemudian dicakar, dicengkeram, dikunyah-kunyah, dibangting-banting seperti kucing makan tikus dibuat permainan oleh Singolodro.
Kelono Wijaya yang menunggu kerajaan, merasa malu karena kakaknya menghinanya, malu mengakui saudaranya karena jelek rupa lalu dia pergi dari kerajaan bertapa di gunung Wilis menggugat para dewa menuntut keadilan minta wajah yang bagus seperti kakaknya. Kemudian permintaan itu diterima, turunlah Dewa dari kayangan memberi topeng mas yaitu topeng manusia yang bagus seperti halnya Kelono Seswandono, satunya berupa pecut atau cambuk yang diberi nama pecut Samandiman. Setelah Kelono Wijaya sampai di alun-alun Kediri tahu kakaknya dimakan harimau gembong, lalu didekatinya. Pecut Samandiman diacungkan diatasnya. Tidak tahu asal usulnya darimana, seketika Singolodro kehabisan tenaga, lemah lunglai tanpa daya sambil mengaduh.
Kelono Wijaya menolong kakaknya, dengan mengucap mantra-mantra sambil memegang seluruh tubuhnya, seketika kekuatan Kelono Sewandono kembali seperti sediakala, luka-luka sudah hilang, hanya luka bekas cakaran kuku harimau di mukanya yang tidak bisa pulih. Setelah selesai menolong kakaknya lalu menolong Singolodro. Diraba seluruh tubuhnya seketika itu berubah menjadi manusia tetapi kepalanya masih kepala harimau. Ini untuk mencukupi permintaan Dewi Songgolangit yang ketiga. Dengan kesaktian Kelono Wijaya, hewan-hewan yang tadinya lepas kesana kemari dengan petikan jari tangan saja sudah datang sendiri, setelah berkumpul terus menghadap Raja Kediri. Singolodro yang berubah berkepala harimau berada di belakang jadi genaplah persembahan 3 macam yang menjadi persyaratan Dewi Songgolangit telah dapat dipenuhi.
Kemudian diketahui jika putri Songgolangit hilang tidak diketahui kemana arahnya lalu bersama-sama mencarinya. Sampai disalah satu gunung di sana terdapat gua yang tertutup batu. Penutup gua itu diketuk dengan jari oleh Singolodro. Batu hancur lebur, kelihatan Dewi Songgolangit merebahkan tubuhnya dibatu. Kelono Sewandono senang hatinya, lalu dibujuk di ajak pulang, disanjung akan kecantikannya diajak ke kerajaan Bantarangin. Karena sepatah katapun Dewi Songgolangit tidak menjawab Kelono Sewandono marah, karena merasa dihina. Diapun berkata : “Orang idiajak bicara sepatah katapun kok tidak menjawab hampa diam seperti batu” terbukti sumpah yang dikatakan Kelono Wijaya, seketika Dewi Songgolangit berubah menjadi batu, berwujud arca seorang wanita (Purwowijoyo,1990:19).
Kelono Sewandono lalu menyerah, bila seperti itu memang bukan jodohnya, lalu diputuskan untuk pulang. Karena pinangannya gagal,akan lewat jalan semula merasa malu maka mencari jalan lain. Kelono Wijaya ingin Pecut Samandiman pemberian dewa akan dicoba kesaktiannya. Bermula akan lewat jalan bawah tanah mulai dari gua yang kemudian disebut gua Selomangleng di gunung Klotok, tanah dicambuk pecut bisa gusur, bisa berlubang seperti terowongan yang mudah dilewati. Sampai di kerajaan Bantarangin dapat melihat keluar dengan cara membelah sungai. Tempat pemunculannya merupakan gua yang yang dinamakan gua Bedali dari kata mbedhah kali (Jawa). Karena didalam gua itu terdapat sungai yang airnya mengalir. Selanjutnya Raja Bantarangin karena merasa kecewa akan menikah yang gagal, dia tidak akan menikah. Sebagai hiburan yang menjadi gantinya lalu ia memelihara anak laki-laki yang ganteng atau yang biasa disebut dengan gemblakan. Raja Bantarangin juga dikanal sebagai raja warok pertama. Warok berasal dari WARA yang memiliki arti pria agung, pria yang diagungkan.
Sesudah peristiwa raja Bantarangin, mempunyai peninggalan berupa sepetrangkat gamelan (musik) terbuat dari bambu. Itu diwariskan kepada rakyat lalu diperagakannya. Mencontoh perjalanan rajanya seperti itu lalu menjadi sebuah kesenian yang dinamakan REYOG (Purwowijoyo,1990:20).
Wengker Zaman Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah kerajaan wengker tidak pernah terjadi peprangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih terdengar jelas bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin oleh seorang raja yang bernama Kudamerta atau Wijayarajasa. Dalam kitab Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa sebagai raja pertama. Kemudian dalam kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Sri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah Dewi Maharajasa adik dari Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit antara lain salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi atau Paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk pada tahun 1357 M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik Tribhuwana Tunggadewi yang merupakan ibu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dan Susumma Dewi merupakan sama-sama cucu Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana.
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan yaitu kerajaan Majapahit dan kerajaan Wengker. Menurut Dr. N.J. Krom, bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan dengan ke Wengker. Seperti kita ketahui bahwa Perang Bubad terjadi sebagai akibat pernikahan politik yaitu salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Walaupun wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit. Kerajaan Wengker jarang diungkap keadaannya karena peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. Pusat pemerintahan Wengker ketika dipimpin Wijayarajasa berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 Saka dan dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.
Zaman kepimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekeuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut dalam sejarah Majapahit.
Zaman Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V sampai runtuhnya kerajaan Majapahit, Wengker masih ada. Tetapi yang berkuasa di kerajaan Wengker sudah tidak ada. Pemerintahannya hanya tinggal daerah Kademangan. Berada di sebelah selatan juga disebut Kademangan Wengker, Demangnya bernama Kethut Suryangalam. Melihat kata Ketut kiranya perubahan dari kata Kettu, nama raja Wengker pertama yaitu Kettu Wijaya. Dapat disimpulkan Ketut Suryangalam masih keturunan Kettu Wijaya.
Demang Suryangalam kondang akan kedigdayaannya, sakti mandraguna, tidak mempan segala senjata. Sampai zaman Wengker berakhirnya, rakyatnya beragama Hindu. Memuja kepada Syiwa, Brahma dan Budhayang arca-arcanya semua ada di Ponorogo.
Zaman Islam Kadipaten Ponorogo
Diakhir kejayaan Majapahit yang mana wilayah Majapahit terpecah-pecah. Wilayahnya seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan Majapahit itu terakhirnya kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Raja yang terakhir Prabu Brawijaya V juga masih ada Brawijaya VI dan VII tetapi sudah tidak ada kekuasaan sama sekali. Runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 oleh Raja Kediri atau Daha yang bernama Ronowijaya Girinda Wardana, lalu dikalahkan oleh Adipati Bintoro Raden Patah. Pusaka kerajaan dan Pendopo kerajaan dipindah ke Demak. Raden Katong putra Brawijaya V ikut diboyong ke Demak. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Raden Patah diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan gelar Sultan.
Raden Patah merupakan putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada waktu itu hamil muda kemudian diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir diberi nama Raden Patah. Prabu Majapahit yang mempunyai istri putri Cina adalah Brawijaya terakhir. Arya Damar menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya tersebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa adalah Demak.
Pada saat Raden Patah menginjak kerajaan Hidu Majapahit telah mulai runtuh yang disebabkan perlawanan kaum bangsawan yang telah mendirikan kota di pantai utara dan mendapat dukungan Islam. Kesempatan ini dipergunakan Raden Patah untuk menemui Sunan Ampel atau Raden Rahmad. Raden Patah mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden Patah tinggal di rumah Raden Rahmad untuk belajar beberapa hal setelah cukup diberi kedudukan di Bintoro. Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja Majapahit Prabu Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi mangkubumi di Bintoro. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama sengan nama Demak pada tahun 1403 Saka atau tahun 1481 M, dibawah pimpinan Raden Patah dengan gelar Panembahan Djimbun.
Seiring munculnya Demak Majapahit semakin parah dilanda krisis, Brawijaya telah direbut oleh Girishawardana yang sebenarnyatidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu raja Brawijaya terakhir, telah memberi kekuasaan kepada Raden Patah yang kelak kemudian berkembang menjadi kerajaan Demak. Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Katong yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Katong disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Kemudian Raden Katong di Demak lalu masuk Islam.
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan sebutan Kutu. Ia merupakan Punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, ia diberi jabatan Demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker yang mana seiring semakin melemahnya Majapahit. Kyai Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.
Raden Katong datang di Demak. Disertai dengan Seloaji diutus memeriksa bekas kerajaan Wengker yang ada di sebelah timur Gunung Lawu dan disebelah barat Gunung Wilis ke selatan sampai laut selatan. Mereka berangkat berdua, sampai sebelah barat Gunung Wilis bertemu dengan Kyai Ageng Mirah. Kyai Ageng Mirah itu merupakan putra dari Kyai Ageng Gribig seorang ulama dari Malang. Kyai Gribig putra dari Wasi Begono. Wasi Begono putra dari Brawijaya V. Kyai Ageng Mirah niatnya akan menyiarkan agama Islam di Wengker. Tetapi tidak bisa berlangsung karena penduduk Wengker semua beragama Budha. Mereka kemudian sepakat berjuang bersama, Raden Katong atas dasar pemerintahan sedangkan Kyai Ageng Mirah atas dasar penyebearan agama Islam. Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapu dalam perjuangan ini. Kyai Ageng Mirah senang mendapat mitra Raden Katong karena masih keturunan Majapahit. Masalah Raden Katong adalah Kyai Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedangkan Kyai Ageng Mirah kesulitan dalam menyebarkan agama Islam. Setelah saling berkenalan dan saling mengutarakan apa yang menjadi kepentingannya karena sama-sama tujuannya, mereka bertiga lalu meneruskan perjalanan melakukan pengamatan sampai laut selatan.
Pihak Raden Katong berusaha melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Kyai Ageng Mirah terhadap Kyai Ageng Kutu secara dialogis agar Kyai Ageng Kutu bersedia mengahdap ke Majapahit. Tetapi Kyai Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain kerajaan Majaphit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Kyai Ageng Kutu menganggap penyebaran Islam yang dipimpin Raden Patah justru Majapahit mengangkatnya menjadi penguasa Demak Bintoro. Kyai Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkatan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Teteapi Kyai Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Kyai Ageng Mirah gagal.
Upaya persuasif dari pihak Raden Katong yang gagal dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Kyai Ageng Kutu. Rombongan pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Katong. Pada dasarnya Raden Katong tidak mau bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Kyai Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak. Tetapi Seloaji memberi nasihat bahwa apa yang dianggap Kyai Ageng Kutu benar adalah menurut Kyai Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas, maka ia menasehati Raden Katong untuk tidak ragu-ragu dalam bertindak.
Kemudian terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin Raden Katong beserta Kyai Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan. Maka pada tahun 1468 M, Kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Katong dan bala tentaranya. Kyai Ageng Kutu bisa dikalahkan tetapi tidak ditemukan jasadnya atau musnah di bukit yang kemudian disebut dengan Gunung Bacin. Kyai Honggolono sebagai tangan kanan Kyai Ageng Kutu Tewas dalam pertempuran ini. Raden Katong sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan musnahnya Kyai Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri. Konsolidasi dalam keluarga Kyai Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi dua putri Kyai Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri dan Niken Gandini, putra pertama Kyai Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Waro Tromejo di Gunung Loreng Slahung.
Setelah selesai kemudian kembali ke Demak, Kyai Ageng Mirah ikut sampai Demak. Setelah beberapa bulan di Demak, Raden Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah diutus kembali ke Wengker dengan diberi pangkat. Raden Katong diangkat menjadi Adipati bergelar Kanjeng Panembahan Batara Katong. Maka diberi nama Batara, karena Wengker rakyatnya semua beragama Budha (Purwowijoyo,1990:23).


sumber:


Krist, A. 2012. Kerajaan Wengker Masa Lalu Ponorogo. (online), (http://pilgrim74.wordpress.com/2012/02/16/kerajaan-wengker-masa-lalu-ponorogo/).
Purwowijoyo. 1985. Babad Ponorogo Jilid I. Ponorogo : Depdikbud Kantor Kabupaten Ponorogo.
Purwowijoyo. 1990. Babad Ponorogo Jilid VII : Ponorogo Zaman Belanda. Ponorogo : Depdikbud Kantor Kabupaten Ponorogo.
Suwito, E. 2011. Kerajaan Wengker Sebelum Majapahit. (online), (http://erlienshu.blogspot.com/2011/11/kerajaan-wengker-sebelum-majapahit.html).
 



Krist,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar